Persiapan Pertemuan Akbar Alumni PSPBSI

Panitia Pertemuan Majelis Alumni sedang melakukan rapat koordinasi di Kantor Haluan Riau Pekanbaru. (mir/13).

Kampus PSPBSI

Mahasiswa PSPBSI sedang melaksanakan seminar di Kampus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. (rich/09).

Pertemuan Penulis Serumpun

Pembicara dari Indonesia Prof. Suwardi MS, Tenas Effendi, dan moderator Abel Tasman, sedang memaparkan makalah pada Pertemuan Penulis Serupun. Kegiatan ini dihari oleh penulis dari Indonesia dan Malaysia. (rich/09).

Makan Bersama

Mahasiswa PSPBSI tampak makan bersama di sela-sela aktivitas kuliah. (rich/09).

TIM Akreditasi Nasional

TIM BAN sedang melakukan verifikasi di Kampus Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Akreditasi PSPBSI saat ini 'B'. (ipul/2013).

Kamis, 19 Juli 2012

Menghidupkan Gaung, Semangat, & Kebesaran Melayu

* Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai Tahap II Sungai Siak
Pekanbaru (Puskalam)--Tim Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai Tahap II Sungai Siak, hari ini Minggu, 12/6/2010 memulai melakukan perjalanan penelusuran Sungai Siak. Tim yang beranggotakan 8 orang ini akan melakukan ekspedisi selama selama 120 hari yang dimulai dari hulu Sungai Siak di Kampung Tandun dan berakhir di muara Sungai Siak di Bengkalis.

Selasa, 23 Maret 2010

Orang Kuantan adalah Orang Melayu

Oleh: Derichard H. Putra, dkk

Berbagai penelitian arkeologi, etnolinguistik, hingga kebudayaan di seluruh dunia mengatakan bahwa orang Kuantan adalah Melayu. Ketika gelombang arus migrasi pertama sekitar 1000 tahun SM orang Melayu masuk ke nusantara mereka mendiami pesisir Pulau Sumatra, kemudian mereka mulai masuk secara evolusi ke pedalaman, singgah di berbagai pinggiran sungai di sepanjang 4 sungai di Riau, yaitu
Sungai Indragiri/Kuantan, Siak, Kampar, dan Rokan. Orang ini saat ini disebut dengan proto Melayu (Melayu Tua), dan sekarang disebut pula dengan masyarakat suku Asli, seperti Talang Mamak, Sakai, Bonai, Akit, Duanu, dll. Setelah bermastutin di tepi-tepi sungai mereka terus merasuk masuk ke hulu. Khusus di Indragiri mereka singgah dan bermastautin di Kuantan, dan seterusnya sampai pula di Minangkabau.

Setelah itu terjadi lagi gelombang kedua arus masuk ke Nusantara dan melakukan perjalanan dengan proses evolusi memudiki sungai. Sebagian singgah di rantau-rantau sungai di Riau dan sebagian lagi bermukim hingga di Pagaruyung. Orang-orang ini kemudian dikenal dalam ilmu kebudayaan sebagai deutro Melayu (Melayu Muda). Bukti sejarah dalam peristiwa ini begitu banyak, mulai situs-situs candi hindu hingga budha. Di sepanjang sungai Indragiri/batang Kuantan terdapat tidak kurang dari 3 situs candi yang diperkirakan umurnya lebih dari 2000 tahun yang lalu. Di sungai Rokan menurut penelusuran Tim Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai (Tahap I Sungai Rokan) ada lebih dari 10 situs mahligai yang ditemukan dan diperkirakan umurnya lebih tua dari candi Muara Takus. Yang paling menonjol memang Candi Muara Takus yang berdiri sebelum kerajaan Sriwijaya lahir. Tim ekspedisi itu mencatat seni ukir yang terdapat di sepanjang sungai Rokan juga menunjukkan lebih tua dibandingkan dengan seni ukir di Minangkabau.

Menurut Tambo kenegerian Cerenti, salah satu puak yang mendiami Rantau Kuantan, suku-suku yang mendiami kenegerian Cerenti itu, adalah keturunan dari nenek moyang mereka yang mendiami Semenanjung Melaka. Kemudian pindah ke Deli, tetapi karena adanya terjadi suatu peperangan Raja Deli dengan Raja Bugis, mereka migrasi pula ke Sumatera bagian tengah, sebagian ke Minangkabau sebagian ke Siak Sri Indrapura. Suku yang pindah ke Minangkabau dipimpin oleh Raja Mahkota. Raja Mahkota ini tidak berfungsi sebagai raja sebab ia dalam perantauan. Sedangkan yang pindah ke Siak Sri Indrapura disambut dengan baik oleh rajanya, bahkan ada di antara mereka diangkat menjadi panglima raja Siak Sri Indrapura. Ihwal Raja Mahkota beristrikan Putri Kembang melahirkan dua orang anak dan yang tua adalah perempuan bernama Putri Hijau dan yang kedua laki-laki bernama Putra Hutan.

Beberapa lama mereka mendiami Minangkabau. Raja Mahkota pun mulai berkuasa di daerah kecil yang ia diami, hingga Raja Mahkota meninggal dunia. Istri, anak dan orang-orang sesukunya meninggalkan daerah itu, kemudian hijrah ke Siak Sri Indrapura.

Di Siak, Putri Kembang dan rombongan berkumpul kembali dengan kelompok yang menuju Siak setelah bertahun-tahun mereka berpisah. Putri Kembang dilamar Raja Siak Sri Indrapura, tetapi lamaran Raja Siak itu ditolaknya, sebab beliau tidak sudi menjadi istri dari Raja Siak. Penolakan itu mengakibatkan Raja Siak marah, dan menyeret Putri Kembang ke penjara seumur hidup. Tindakan Raja Siak tidak disenangi Panglima yang sudah diangkatnya, sehingga terjadilah peperangan antara Panglima Raja Siak dengan Raja Siak. Akhirnya, untuk menghindari pertumpahan darah yang lebih besar rombongan Panglima menghindar menuju Kerajaan Indragiri hingga sampailah ke suatu tempat yang kelak bernama Cerenti.

Hal ini didukung oleh banyaknya pendapat budayawan yang mengatakan bahwa raja-raja Pagaruyung berasal dari Rantau Kuantan yang terjadi lebih dari 1500 tahun yang lalu.

Baik Melayu Tua maupun Melayu Muda memakai sistem keturunan matrilineal (garis keturunan ibu). Setelah Islam masuk diperkirakan abad ke-13 Melayu di Riau terutama yang mendiami pesisir Sumatra menerima peradaban Islam yang memakai sistem patrilineal. Karena memang kebudayaan Melayu itu sangat terbuka dan menerima Islam sepenuhnya. Namun, di banyak rantau di hulu sungai di Riau hingga Sumatra Barat pengaruh sistem yang islami ini diterima dengan berbagai rumusan baru, seperti tali berpilin tiga atau tiga tunggu sejerangan, dst.

Pada abad ke-13 itu pula, ketika Islam masuk ke Sumatra tidak hanya agamanya di terima dengan sepenuh hati tetapi juga peradaban Islam dihayati dengan baik. Gelombang pertama literacy Jawi (Arab Melayu) pun masuk dan dipakai dengan amat mesra. Tradisi keberaksaraan ini sangat merasuk kepada para ahli di Minangkabau waktu itu. Mereka pun mulai terpengaruh membuat sejarah dan syiarah, Mereka menyusun tambo-tambo di rantau Minangkabau. Perantau-perantau Minangkabau yang suka merantau menjalarkan keterampilan mereka membuat tambo dengan Minangkabau sebagai kiblat mereka. Jadi, saat ini memang banyak tambo-tambo yang berasal dari Kuantan terdapat kata Minangkabau di sana. Dari sekian banyak itu, disertakan di sini ringkasan Tambo Cerenti seperti yang ditulis di atas.

Jadi, tulisan ini menyimpulkan bahwa tidak benar bahwa Orang Kuantan adalah Orang Minangkabau, yang benar adalah orang Kuantan merupakan orang Melayu Kuantan, dan nenek moyang orang Minangkabau berasal dari ras yang sama dan dulunya juga pernah berasal dari Kuantan, Kampar, dsbnya. di Riau. Ihwal adat istiadat yang memakai system kekuasaan matrilineal (garis keturunan kekerabatan seperti Minangkabau itu bukan pemilik tunggal Minangkabau karena memang kebudayaan Melayu yang paling tua sebelum Islam masuk nenek moyang orang Melayu memang memakai system matrilineal. Di Kuantan dan di berbagai wilayah budaya di Riau lainnya juga memakai system yang sama, Islam lah yang mengubah peradaban ini ke garis keturunan sebelah ke laki-laki.

Perlu diketahui dalam sejarah Melayu, Sulalatus Salatin menyebutkan Wan Seri Bani pernah berkuasa dan saat itu system matriarkhat (pengambilan keputusan di tangan perempuan) pernah berlaku juga untuk beberapa abad di situ. Dan, bersambung hingga kepada kekuasan Engku Puteri. [rich-the real malay].

Kamis, 18 Maret 2010

Kelapa Sawit Penyebab Utama Banjir dan Kemarau

Workshop Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai

PEKANBARU (Puskalam)--Kelapa sawit (Elaeis) bisa dikatakan sebagai kambing hitam penyebab utama banjir dan kekeringan yang terjadi di Riau, hal ini disebabkan sifat kelapa sawit yang tidak menyerap air hujan ketika terjadi musim penghujan, dan menyerap cadangan air bawah tanah ketika terjadi musim kemarau.

Hal ini dikatakan ahli lin
gkungan hidup Universitas Riau Prof Dr Ir H Adnan Kasry dalam workshop Ekspedisi Kebudayaan 4 Sungai (Sungai Siak) yang ditaja Pusat Penelitian Kebudayaan dan Kemasyarakatan Universitas Riau, Rabu (18/3) di gedung FKPMR Pekanbaru.

Lebih lanjut ketua Forum Daerah Aliran Sungai Siak (FORDAS Siak) ini menuturkan, kelapa sawit merupakan tumbuhan monokotil (berakar serabut) sehingga air hujan yang melimpah tidak terserap ke dalam tanah dan hanya mengalir di daratan menuju aliran sungai, air yang mengalir tersebut akan membawa zat hara dan mengendap di dasar sungai. Akibatnya, tanah akan menjadi gersang dan sungai akan semakin dangkal. Dan bila musim kemarau, kelapa sawit akan menyerap cadangan air bawah tanah dengan jumlah yang besar untuk memenuhi kebutuhannya agar bisa bertahan hidup dan berbuah. Berbeda halnya dengan tumbuhan dikotil (berakar tunggal), tumbuhan ini akan menyerap air hujan ke dalam tanah dan menyimpannya diruang-ruang bawah tanah di dekat akar tunggalnya, dan bila musim kemarau tumbuhan dikotil akan melepaskan cadangan airnya sehingga sungai dan sumur-sumur yang ada disekitarnya tidak akan kekeringan.

“Saya selalu dibilang orang bahwa saya adalah anti kelapa sawit, tetapi sejatinya bukan, kelapa sawit memang tidak bersahabat dengan lingkungan”, ujarnya.

Sekretaris Senat Universitas Riau ini menjelaskan, selama ini sungai-sungai di Riau khususnya Siak mengikuti pola sungai pada umumnya, dimana setiap tahun selalu tejadi banjir musim penghujan dan bajir besar (bandang) mengikuti pola 10, 20, 50 atau 100 tahunan, tapi saat ini pola banjir mulai berubah dan semakin tidak teratur bahkan tidak bisa diramalkan. Setiap tahun selalu terjadi banjir bandang yang menimbulkan kerugian besar yang berdampak pada kegiatan perekonomian masyarakat. Sebaliknya pada musim kemarau, debit air menjadi kecil dan menyebabkan sangat terganggunya penyuplaian bahan baku air minum bagi masyarakat, kematian ikan secara massal, terganggunya alur pelayaran, semakin suburnya tumbuhan enceng gondok, dan semakin melebarnya abrasi pinggir sungai.

“Warga Pekanbaru sumber kehidupannya ada di Sungai Siak, jika sungai ini kering atau tercemar dipastikan sumur-sumur warga juga akan kering atau tercemar”.

Sebagai solusinya, lanjut guru besar Universitas Riau ini, pemerintah harus membuat arah kebijakan yang jelas tentang Daerah Aliran Sungai (DAS), salah satunya dengan menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). [rich-the real malay]

Senin, 16 November 2009

Tim Muhibah Universitas Riau ke Malaysia dan Thailand

Memperoleh Dukungan Luas dan Inspirasi di Tiga Tempat

Tim Muhibah Universitas Riau pada Sabtu Malam (31/10) kembali ke tanah air setelah mengadakan pementasan di tiga tempat, yaitu Universiti Malaya Kuala Lumpur, Universiti Utara Malaysia Kedah, dan Prince of Songkla Universiti (PSU), Patani Thailand. Ketiga tempat itu tercatat lebih dari 1500 penonton menyaksikan seni kampung Riau dan memperoleh sambutan meriah.

Selanjutnya di hari pertama Senin, 26 Oktober 2009 tim muhibah tampil perdana di Universiti
Malaya (UM). Lebih dari 500 orang penonton membanjiri arena pentas (panggung) yang telah dipersiapkan panitia disana. Dan mereka menyatakan salut, atas penampilan yang telah mereka saksikan. Dengan berbagai ungkapan, haru dan senang yang menyebutkan keceriaan mereka rasakan. Karena tim berhasil membawakan kesenian tradisi yang saat ini masih mengakar di Riau-Indonesia. Siangnya, Selasa 27 Oktober 2009 dilanjutkan dengan seminar yang mengupas seputar kesenian, kebudayaan kedua daerah. Seminar yang dihadiri budayawan Riau H Tennas Effendi, Al-azhar, Elmustian Eahman, Abdul Jalil, Alvi Puspita dan Amirullah. Sementara dari pihak UM disampaikan dua pembicara yang membentangkan dua topik yakni tentang pantun dan alat musik gambus.

Pembantu Rektor III Universiti Utara
Malaysia, Mohd Zaini dalam sambutan perpisahan menyatakan, seni kampong yang sudah dipersembahkan oleh Universitas Riau menjadi inspirasi bagi kami untuk membina kesenian kampong yang ada di Malaysia dan mengangkatnya ke taraf internasional. Pertunjukkan kedua ini berlangsung di kampus Universiti Utara Malaya (UUM) berlangsung Rabu, 28 Oktober 2009 tepat pada pukul 20.00 waktu setempat.

‘’Kami juga akan menjemput Tim Muhibah tahun depan untuk meraikan kompokesyen (wisuda). Kami menilai persembahan Tim Muhibah Universitas Riau ini sangat layak ditonton oleh sultan Kedah. Katanya menilai untuk memberi ukuran seni tinggi pada kesenian Melayu’’. Paparnya.

Kamis, 29 Oktober 2009 tim kembali tampil di Prince of Songkla University (PSU) Patani Thailand, meski di tengah kondisi yang mencekam karena komplik di selatan Thailand yang memanas, pertunjukan Tim Muhibah dihadiri lebih dari 1000 penonton. Mereka mulai berdatangan sejak pukul 6 petang, meski acara dimulai pukul 8.30 malam. Mereka antri hingga puluhan meter di depan gedung pertunjukan. Selain dihadiri oleh mahasiswa juga dihadiri oleh para dosen dan senator (DPRD) setempat.

Menziarahi tiga tempat baik di Malaysia dan Thailand selain Memperoleh dukungan Luas dan Inspirasi di tiga tempat tersebut, tim muhibah juga mendapatkan banyak pengetahuan yang selama ini belum mereka peroleh dengan baik tentang Melayu, dulu, kini dan proyek Melayu masa akan datang.


Maka tidak heran, seperti yang disampaikan oleh budayawan Riau, Al-azhar kepada tim muhibah seni budaya Melayu baik sebelum berangkat maupun sesudahnya, beliau mengatakan, bahwa perjalanan ini adalah perjalanan ziarah. ‘’Feelgremed. Perjalanan ziarah. Ziarah tentang, Melayu dulu, kini dan akan dating. Ziarah tentang kepedihan, keseriusan, kejayaan dan tentang banyak hal,’’ ungkapnya. [the real malay-mir]

Selasa, 13 Oktober 2009

Seni Kampung Mampu Bertanding dengan Tari Asing

Tim Muhibah UR meriahkan Launcing PSPS di SKA

PEKANBARU (Puskalam)--Tim Muhibah Seni Budaya Melayu: The Real Malay, Universitas Riau (UR) tampil memukau penonton di Mal SKA Pekanbaru. Berkali-kali penonton bertepuk histeris setiap sehabis sesi yang ditampilkan. Seni kampung yang ditampilkan memeriahkan Launcing PSPS 2009 di Mal SKA Pekanbaru (8/9) mampu bersanding dengan tarian Barat/barang impor yang dibawakan anak-anak SMA di Pekanbaru. Penampilan Tim Muhibah UR ini merupakan penampilan yang ketiga kalinya di hadapan publik sebelum melakukan muhibah di tiga negara ASEAN, Singapura, Malaysia, dan Thailand pada 24 Oktober ini.

Penampilan Tim Muhibah UR yang terkesan mendadak ini merupakan undangan resmi managemen PSPS. Tim Muhibah UR kali ini hanya menampilkan 2 genre seni-budaya Melayu Riau dari 6 genre yang akan dibawakan dalam muhibah seni-budaya Melayu Riau pada 25-30 Oktober 2009. Kedua genre tersebut adalah Tari Zapin dan Kayat.

Sementara itu Ass koordinator latihan, Amirullah, S.Pd. menyebutkan meski penampilan di Mal SKA sedikit mengalami gangguan, seperti sound system yang tidak oftimal dan panggung yang terlalu sempit namun tidak mengurangi penampilan tim. Sehingga zapin yang sedianya terdiri dari 4 pasang, hanya bisa diturunkan 3 pasang saja. Walaupun untuk memancing minat penonton kepada musik dan tari tradisi ini, sedikit terkendala. “Namun, saya pikir hal itu tak menjadi penghalang besar untuk memasarkan seni kampung tersebut,” ungkap alumni Unri ini.

Muhibah Tiga Negara
Silat, Zapin Tradisional, Joget Lambak, Pantun Batobo, koba, kayat, dan syair adalah 6 genre kesenian rakyat yang akan memeriahkan pertunjukkan di tiga negara yang akan dikunjungi. Menurut Amirullah, “sejauh ini, memang belum ada kendala berarti. Semua peserta terlihat fit, dengan latihan yang teratur. Saat ini kita latihan pada malam hari setiap malamnya. Mengingat perkuliahan dan kesibukan pengelola lainnya.”

Walau ada yang sempat terlihat sakit, setelah dilakukan cek up ke dokter ternyata hanya kelelahan saja. Hal itu tentu sangat wajar, karena jadwal latihan yang sangat padat, untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Tim yang diperkuat 16 orang mahasiswa terampil ini, pada mulanya tidak memiliki basic kesenian terutama kesenian tradisi. Namun, setelah dilatih dan ditata sedemikian rupa, ternyata mereka mampu melakukan semua genre kesenian yang dibawakan nanti.

Terbukti beberapa kali penampilan, belum ada penonton terlihat meninggalkan lokasi acara. Hal itu selalu dilakukan peninjauan oleh tim muhibah setiap kali ada pementasan dimanapun. “Walaupun ada, bukan karena melihat setiap yang dibawakan itu kurang menarik, tetapi karena kesibukan mereka lainnya,” jelas Amir.
Ketua dan Penanggungjawab muhibah seni, Universitas Riau, Elmustian menyebutkan, Tim Muhibah dilatih multi talenta. “Tidak hanya fisik belaka tetapi juga intelektualnya. Mereka juga dilatih agar professional dan dimatangkan intelektual mereka. Insya Allah sudah berjalan.”

Muhibah didukung oleh tim ekspert seniman profesional, Datuk F. Mogek Intan, Tim Kayat Rantau Kuantan, Silat Pangean laman Baturijal, Prof. DR. Muchtar Ahmad, M.Sc., Al azhar, Vivien, Hendra, dan sejumlah seniman Pekanbaru. Tim ini mendukung kebijakan pembangunan Riau secara simultan seperti yang dinyatakan dalam visi Riau 2020. Sebagai tindak lanjut dari kegiatan ini tim ini mendirikan Fakultas Ilmu Budaya dan sanggar seni.
Selain itu, mereka juga kita bentuk karakternya agar mampu melakukan dan merespon tantangan masa depan agar lebih siap lagi. Ini untuk membentuk karakter tersebut dan menambah wawasan mereka.

Elmustian berencana semua genre seni kampung Riau akan digarap dan dipublikasikan di luar negeri, namun saat ini yang digarap baru kesenian tradisi, seperti kayat, koba, silat, zapin, pantun batobo, joget lambak, dan syair.

“Ini komitmen kita melanjutkan kerangka besar kerja Kebudayaan Melayu Riau, mulai dari identifikasi, kemudian reidentifikasi, revitalisasi seperti mengemaskinikan produk seni kampung bersama-sama para pendukung dan khalayaknya, melindungi secara hukum produk seni kampung, hingga pada mempublikasikannya di dalam dan luar negeri,” jelas dosen FKIP UR ini. [mir: the real malay]




Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites